Betapapun, adalah manusiawi sekiranya Rasulullah SAW menangis tatkala mendengar kabar akan terbunuhnya sang cucunda tercinta, sebagaimana juga beliau menangis ketika meninggalnya Ibrahim, putra beliau, Khadijah, istri beliau, Abu Thalib, paman beliau, dan Ja’far Ath-Thayyar, sepupu beliau…
Al-Husain melihat musuh terus mengepungnya dan menghantam kuda yang ditungganginya dengan pedang, sesekali pada kakinya dan sesekali pada pahanya. Tidak tega melihat kudanya dipukuli, ia pun turun dari kudanya dan melepaskan kudanya.
Sang Imam lalu berdiri dengan kedua kakinya, sementara orang-orang keji telah mengepungnya. Mereka mulai menebaskan pedang ke arahnya. Tebasan itu mengenai bahu, tangan, dan kakinya.
Masing-masing mereka tidak mau menjadi orang pertama yang menebaskan pedangnya ke tubuh sang Imam. Karena mereka tahu, siksa macam apa yang akan mereka alami kelak di akhirat jika mereka membunuh Al-Husain.
Ketika luka sang Imam semakin banyak, ia terus diserang dengan serangan yang kuat. Meski telah lelah, Al-Husain terus memerangi mereka hingga barisan mereka terpecah.
Namun mereka kembali mengepungnya dan salah seorang di antara mereka memukul kakinya, hingga ia berlutut. Tapi ia tetap berperang walau dalam keadaan berlutut.
Lalu datanglah orang yang paling celaka, Syimmar bin Dzil Jausyan, sambil berkata, “Kenapa kalian tidak langsung membunuhnya? Bunuhlah dia segera!”
Syimmar terus memanas-manasi mereka hingga salah seorang di antara mereka mendatangi Al-Husain dan memukul kepala sang Imam. Dan Imam pun terjatuh ke tanah.
Demi kemuliaan Dzat Yang Mengagungkan kedudukan mereka sungguh gambaran jatuhnya sang Imam ke tanah merupakan hakikat pencapaiannya pada puncak maqam kedekatan tertinggi di sisi Allah. Dan ini merupakan gambaran rendahnya dunia di sisi Allah. Ini adalah saat kemenangan sang Imam, yang telah menunjukkan kejujuran dan janji setia keluarga dan para sahabatnya terhadap datuknya, Rasulullah SAW, dalam membantu agama ini.
Kemudian datanglah manusia paling celaka, Syimmar, memenggal kepala sang Imam.
Bersikap Moderat
Demikian sepenggal kisah detik-detik terbunuhnya Imam Husein di Padang Karbala, sebagaimana yang pernah dituturkan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri.
Tak ayal, tragedi sepuluh Muharram 61 H/686 M itu, yang juga banyak diceritakan para ulama dari zaman ke zaman, menjadi noda hitam dalam sejarah Islam sepeninggal Baginda Nabi SAW.
Tragedi Karbala adalah peristiwa kemanusiaan teramat dahsyat yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW, Imam Husain, dan segenap keluarganya, dibunuh secara keji. Peristiwa yang juga merupakan ungkapan suatu pengorbanan luar biasa para syahid di jalan kebenaran dan keadilan Ilahi.
Sungguh, darah Imam Husain dan para pengikut setianya yang mengalir di Padang Karbala merupakan tetesan darah yang tak mengalir percuma. Tetes demi tetes darah itu seakan mewujud sebagai semangat kehidupan seorang hamba yang sebenarnya, bahwa seorang manusia yang hidup di atas muka bumi tak selayaknya hidup demi kepentingan duniawi semata.
Roda zaman terus berputar. Hingga sekarang, Peristiwa Karbala telah berlalu lebih dari 14 abad silam. Lalu, bagaimana selayaknya umat Islam pasca-Tragedi Karbala menyikapi peristiwa tragis tersebut?
Dalam salah satu taushiyahnya, Habib Umar Bin Hafidz menyinggung hal itu, “Kita tentu bersedih dengan peristiwa terbunuhnya Al-Husain di hari Asyura. Orang yang berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain, jelas hal itu membuatnya menjadi seorang yang fasiq, bahkan bisa pada kekufuran. Akan tetapi, dalam beragama, sikap kita tidak didasari sifat tasya-um (pesimisme, sial, atau merasa tak berpengharapan, bersedih berkepanjangan karena peristiwa atau pandangan tertentu), tapi dengantafa-ul (optimisme, atau menanggapi secara positif segala sesuatu).
Tasya-um, apalagi dalam bentuk-bentuk seperti mencaci maki, tidak ada tuntunannya dalam agama kita dan dalam peringatan-peringatan agama kita ini. Semua peringatan agama dalam agama kita didasari semangat optimisme dan membawa ketenangan di hati, seperti halnya peringatan Maulid, hari ‘Id, bulan Ramadhan, dan sebagainya.
Kita memang tak boleh bersenang hati dengan terbunuhnya Al-Husain. Tetapi kita harus tetap wasth, moderat, sebagaimana fungsi agama yang sebenarnya. Kita tidak menyikapi Peristiwa Karbala dengan bersedih-sedih, karena hal itu bahkan bertentangan dengan apa yang dirasakan Imam Husain sendiri. Jelas, di hari itu Al-Husain sangat bahagia.
Seandainya ditanyakan kepadanya hari yang paling membahagiakan baginya, niscaya jawabnya adalah hari di saat ia mendapati kesyahidannya, yaitu hari Asyura. Sebab, di hari itu derajatnya diangkat Allah SWT dan di hari itu pula ia berjumpa dengan kakeknya, Rasulullah SAW, ayahnya, Ali KW, ibundanya, Fathimatuzzahra, dan kakaknya, Al-Hasan. Karenanya, kita pun tidak memperingatinya dengan kesedihan.
Adapun istilah lebaran anak yatim di hari Asyura itu berdasarkan hal-hal yang disunnahkan di hari itu, yaitu lewat riwayat-riwayat yang sudah termasyhur di tengah-tengah kaum muslimin. Di antaranya, melebihkan uang belanja keluarga, menyantuni dan menggembirakan anak yatim, dan sebagainya. Kesemuanya adalah hal-hal yang bersifat optimisme dan kebahagian di hati.
Namun demikian, kalau di hari itu kita berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain atau berpesta karenanya, itu tindakan yang bertentangan dengan akal sehat. Hendaknya, kita menempatkan semua nash agama pada tempatnya dan menyikapi setiap masalah secara proporsional.”
Multi-Dimensi Historis
Asyura, atau hari kesepuluh bulan Muharram, nyatanya memang memiliki sejumlah dimensi historis. Jauh sebelum Tragedi Karbala, sepuluh Muharram telah menjadi hari yang dikenal secara khusus bagi umat-umat terdahulu.
Sebut saja, di antaranya, peristiwa diterimanya taubat Nabi Adam AS, diselamatkannya Nabi Ibrahim AS dari jilatan api yang dinyalakan Raja Namrudz, terbelahnya lautan yang menyelamatkan Nabi Musa AS dan bala tentaranya dari kejaran tentara Fir’aun, diangkatnya Nabi Isa AS ke atas langit.
Sebuah hadits dari Abi Hurairah RA menyebutkan, ketika Nabi SAW melewati sekelompok orang Yahudi yang tengah berpuasa di hari Asyura’, beliau bertanya, “Puasa apa ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari tenggelam dan menenggelamkan Fir’aun. Dan hari ini juga adalah hari merapatnya bahtera Nabi Nuh di Bukit Judiy. Maka Nabi Nuh dan Nabi Musa berpuasa, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.”
Lalu Nabi SAW berkata, “Aku lebih berhak dari Musa (dalam bersyukur) dan lebih berhak untuk berpuasa di hari ini.” Kemudian, Nabi pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Mengenai peristiwa terbunuhnya Al-Husein di Padang Karbala pada hari Asyura, sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW sendiri telah mengabarkan akan terjadinya peristiwa itu jauh-jauh hari.
Ummu Salamah RA, istri Nabi SAW, bercerita, “Sewaktu Nabi tidur di rumahku, tiba-tiba Husein hendak masuk, maka aku (Ummu Salamah) duduk di depan pintu mencegahnya masuk, karena khawatir membangunkan beliau. Kemudian aku lupa akan sesuatu, sehingga Husein merangkak masuk dan duduk di atas perut beliau.
Lalu, aku mendengar rintihan Rasulullah SAW.
Aku pun mendatanginya dan bertanya, ‘Apa yang engkau ketahui sehingga engkau merintih seperti itu?’
Rasulullah menjawab, ‘Jibril datang kepadaku ketika Husein ada di atas perutku seraya berkata kepadaku: Apakah engkau mencintainya (Al-Husein)?
Aku pun menjawab: Iya, aku mencintainya.
Lalu Jibril berkata: Sesungguhnya di antara umatmu kelak ada yang akan membunuhnya. Maukah engkau aku tunjukkan tanah tempat terbunuhnya?
Maka aku pun menjawab: Iya.
Jibril mengepakkan sayapnya lalu memberikan tanah ini kepadaku’.”
Ummu Salamah RA berkata, “Maka tampak pada tangan Rasulullah tanah merah dan beliau pun menangis seraya berkata, ‘Siapakah yang akan membunuhmu (wahai Husein) sepeninggalku?’.”
Perasaan Manusiawi
Jauh sebelum peristiwa tragis itu terjadi, ternyata Rasulullah SAW telah mencium bau perpecahan yang parah, yang bahkan akan menumpahkan darah dagingnya sendiri. Namun, kesempurnaan pribadi beliau, yang melebihi manusia mana pun, membuatnya menyerahkan semua itu sepenuhnya kepada Allah, Yang Maha Berkehendak. Beliau berharap agar tetap ada di antara umatnya yang senantiasa mengukuhkan tali persaudaraan di antara kaum muslimin dan tetap menunjukkan akhlaq mulia di tengah kebobrokan zaman yang kerap merongrong iman.
Ulama salaf dari kalangan Alawiyyin pun menyerukan agar umat tetap bersikap proporsional dalam menyikapi Asyura. Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menerangkan dalam Tatsbit al-Fu’ad, “Asyura adalah hari duka cita, tak ada kebahagiaan di dalamnya, mengingat terbunuhnya Al-Husein di hari itu. Namun tidak dibenarkan pada hari itu melakukan ritus yang lain melebihi dari berpuasa dan memberi belanja lebih pada keluarga, karena pada dasarnya hari itu sendiri adalah hari yang utama.”
Betapapun, adalah manusiawi sekiranya Rasulullah SAW menangis tatkala mendengar kabar akan terbunuhnya sang cucunda tercinta, sebagaimana juga beliau menangis ketika meninggalnya Ibrahim, putra beliau, Khadijah, istri beliau, Abu Thalib, paman beliau, dan Ja’far Ath-Thayyar, sepupu beliau, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karenanya, para ulama tak memaknai tangisan Rasulullah SAW ketika itu sebagai hujjah agar kelak umatnya turut menangisi terbunuhnya Imam Husein, sebagaimana beliau pun tak pernah mengadakan hari berkabung untuk kematian Nabi Zakariya dan Nabi Yahya, yang juga dibunuh secara zhalim oleh kaumnya.
Sebuah riwayat hadits menyebutkan, ketika putra beliau, Ibrahim, dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di atas kuburnya seraya berkata, “Wahai anakku, hati bisa berduka, mata bisa meneteskan air mata, tapi tak ‘kan kulontarkan kata-kata yang membuat Tuhanku murka. Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.”
Bukan hanya itu. Bahkan Rasulullah melarang umatnya meratapi kematian sebagaimana kebiasaan kaum Jahiliyah. Beliau bersabda, “Bukan termasuk golonganku, orang yang memukul-mukul pipinya (karena kematian seseorang), dan merobek-robek pakaiannya, serta menjerit-jerit sebagaimana kebiasaan orang-orang Jahiliyah.”
Umat Islam memahami, Al-Husein adalah bagian dari ahlul bayt Rasulullah SAW, sekelompok orang yang umat dianjurkan untuk mencintai mereka. Rasulullah SAW pun bersabda, “Didiklah anak-anak kalian mengenai tiga perkara: mencintai nabi kalian, mencintai ahlul baytnya, dan membaca Al-Qur’an.”
Di sisi lain, isu ahlul bayt telah menjadi isu sepanjang zaman yang tak berkesudahan. Dan Peristiwa Karbala adalah salah satu pembahasan krusial dalam konstelasi keyakinan beragama dunia Islam, di samping beberapa isu populer di seputar ahlul bayt lainnya.
IY
Ahlul Bayt di Panggung Sejarah
Siapakah sebenarnya yang disebut ahlul bayt? Bagaimana perjalanan sejarah mereka? Dan siapa saja tokoh-tokoh dalam lingkungan mereka?
Istilah ahlul bayt berasal dari firman Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’anul Karim surah Al-Ahzab: 33, yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran dari kalian, ahlul bayt, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”
Secara harfiah, ahlul bayt bermakna “keluarga” atau “anggota rumah tangga”. Akan tetapi dalam kaitannya dengan makna ayat tersebut, para ahli tafsir berbeda pendapat.
K.H. Abdullah bin Nuh, dalam bukunya, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, setelah mengurai berbagai nash dan pendapat para ulama menyimpulkan, terdapat lima penafsiran terhadap makna kata ahlul bayt dalam ayat 33 surah Al-Ahzab tersebut:
Pertama, pada umumnya para ulama ahli tafsir berpendapat, makna ahlul bayt mencakup dua pihak, yaitu ahlul aba (Rasulullah SAW, Siti Fathimah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husein) dan para istri Rasulullah SAW Radhiyallahu ‘Anhum. Itulah penafsiran yang mu’tamad dan dapat dijadikan pegangan.
Kedua, Abu Sa’id Al-Khudhri, seorang sahabat Nabi, dan sejumlah ulama tafsir dari kalangan tabi’in, termasuk Mujahid dan Qatadah, berpendapat, makna ahlul baytterbatas pada ahlul aba.
Ketiga, Ibnu ‘Abbas, seorang sahabat Nabi, dan Ikrimah, dari kaum tabi’in, berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul bayt ialah ummahatul mu’minin, yakni para ibu suci istri-istri Rasulullah SAW (Atau: para ibu suci, istri-istri Rasulullah SAW? Maknanya berbeda).
Keempat, Ibnu Hajar dan Tsa’labi berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul bayt ialah orang-orang Bani Hasyim, karena mereka mengartikan kata bayt dengan “keluarga”, yakni keluarga seketurunan. Dengan demikian, ‘Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Nabi), saudara-saudaranya, dan anak-anaknya, semuanya termasuk dalam pengertian ahlul bayt. Pengertian tersebut didasarkan pada riwayat yang berasal dari Zaid bin Arqam, dan tercantum di dalam Tafsir Al-Khazin.
Kelima, Al-Khathib Asy-Syaibani, yang sependapat dengan Al-Buqai’i, berpendapat, penafsiran yang terbaik mengenai kata ahlul bayt ialah setiap orang yang hidup bersama Rasulullah SAW, lelaki maupun perempuan, istri, kerabat, maupun hamba sahaya. Mereka itulah yang sangat dekat dengan Nabi SAW, memperoleh perhatian khusus dari beliau dan selalu menyertai beliau, karena itu mereka lebih berhak dan lebih patut disebut ahlul bayt.
Betapapun, saat disebutkan istilah ahlul bayt, ada kekhususan pada empat sosok utama dalam rumah tangga Rasulullah SAW, yaitu Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husein, yang, bersama Rasulullah SAW, mereka disebut ahlul kisa’.
Dalam Risalah Tafsir al-Mu’awwidzatain, Ibnu Taimiyyah menjelaskan soal kekhususan ahlul kisa’ sebagai ahlul bayt Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sama halnya dengan sabda Nabi SAW yang mengatakan bahawa masjid yang didirikan atas dasar taqwa ialah ‘masjidku’. Padahal secara pasti nash Al-Qur’an yang mengenai itu menerangkan bahawa yang dimaksud adalah Masjid Quba. Demikian pula sabda Rasulullah SAW yang diucapkan kepada ahlul kisa bahwa mereka itu adalah ‘ahlul baytku’. Padahal ayat Al-Qur’an yang mengenai ahlul bayt (Al-Ahzab: 33) pengertiannya mencakup para istri Nabi SAW. Mengenai soal-soal seperti itu pengkhususan sesuatu yang perlu dikhususkan memang lebih baik daripada hanya diutarakan keumuman sifat-sifatnya.”
Hubungan nan Harmonis
Sejarah ahlul bayt memang selalu menarik perhatian banyak orang. Betapa tidak, ia adalah satu dari dua peninggalan besar Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah, sebagai tali yang terentang antara langit dan bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Telaga Haudh (di surga).”
Saat mengutip hadits tersebut, K.H. Abdullah bin Nuh menyebutkan takhrijnya bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari hadits Zaid bin Tsabit dan dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Yang pertama pada halaman 182 dan yang kedua pada akhir halaman 189, jilid V. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la, dan Ibnu Sa’ad dalam Kanz al-Ummal I/47, hadits No. 945.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, perjalanan sejarah ahlul bayt dan jejak-jejaknya tak pelak terus memunculkan banyak wacana di tengah umat, mulai dari zaman sahabat, tabi’in, bahkan hingga hari ini.
Satu di antara sekian banyak fitnah yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin adalah adanya hubungan yang tidak baik antara ahlul bayt dan para sahabat Nabi SAW. Padahal, sejumlah fakta membuktikan dengan jelas bahwa kasih sayang antara ahlul bayt dan para sahabat Nabi SAW tetap terjalin dengan baik, sebab mereka adalah anak didik Rasulullah SAW yang telah mereguk nilai-nilai kasih sayang langsung dari sumbernya yang sama, yaitu Rasulullah SAW, dengan segala keluhuran pekerti beliau yang dapat mereka saksikan setiap saat dengan mata kepala sendiri.
Apabila dalam diri seseorang sudah meresap keyakinan bahwa di antara para sahabat dan ahlul bayt itu terhubung jalinan kasih sayang, berarti prinsip tersebut sudah bersemayam di lubuk hatinya. Hati pun menjadi tenteram, sirna pula rasa dengki dan benci terhadap sahabat-sahabat Nabi, terutama pada pribadi-pribadi tertentu yang kerap dituding sebagai musuh ahlul bayt.
Prinsip ini pun selaras dengan semangat yang terkandung dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.”
Makna di Balik Nama
Nama seseorang mencerminkan dirinya. Nama merupakan pembeda, yang membedakan seseorang dengan orang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab, melalui nama, orang akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya sendiri maupun orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang bersangkutan dan juga bagi putra-putrinya kelak.
Nama seseorang juga melambangkan agama dan juga tingkatan akalnya. Pernahkah terdengar ada seorang Nashrani atau Yahudi yang memberi nama putra-putri mereka dengan nama “Muhammad”? Ataukah ada di kalangan muslimin yang memberi nama anaknya dengan nama “Lata” dan “Uzza”, selain orang yang kurang akalnya?
Seorang anak terikat dengan ayahnya melalui nama. Seseorang dipanggil dengan nama pilihan ayah dan keluarganya.
Jadi, umat manusia selalu menggunakan nama. Orang suka mengatakan, “Melalui nama Anda, saya dapat mengerti siapa bapak Anda.”
Maka, dengan nama apa Anda memberi nama putra Anda? Apakah Anda memilih nama yang Anda sukai, disukai ibunya, dan keluarganya, atau Anda memberi nama putra Anda dengan nama musuh Anda? Sudah pasti kita memilihkan nama dengan nama-nama yang mengarah pada sesuatu yang bermakna bagi kita.
Fakta pemberian nama yang menggambarkan hubungan ahlul bayt-sahabat jelas bukan satu kebetulan yang hanya terjadi pada seorang anak, sebab para tokoh ahlul bayt menamakan banyak anak mereka dengan nama-nama sahabat, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan masalah yang perlu direnungkan dengan lebih tenang. Di dalamnya terkandung seruan bagi jiwa dan perasaan, serta penjelasan yang memuaskan.
Kalau bukan lantaran adanya sesuatu rasa yang istimewa di hati Imam Ali kepada tiga khalifah terdahulu, akal sulit menerima kenyataan kenapa ia sampai memberi nama putra-putranya dengan nama-nama mereka: Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘Anhum. Sejarah mencatat, ketiga putra Imam Ali itu kelak syahid bersama saudaranya, Al-Husein, di Padang Karbala.
Putra tertua Imam Ali, Al-Hasan, pun memberi nama putra-putranya dengan nama Abu Bakar, Umar, dan Thalhah. Ketiganya pun syahid di Karbala bersama paman mereka, Al-Husein.
Al-Husein sendiri menamai salah seorang putranya dengan nama Umar.
Putra Al-Husein, Ali Zainal Abidin, juga memberi nama putrinya dengan nama Aisyah dan seorang putranya dengan nama Umar.
Demikian juga dengan para ahlul bayt lainnya, yaitu dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, keturunan Ja’far bin Abi Thalib, Muslim bin Aqil, dan selain mereka.
Kondisi ini merupakan bukti, baik dari segi logika, psikologis, maupun realitas, bahwa ahlul bayt ingin membuktikan besarnya rasa cinta mereka kepada Khulafa’ Ar-Rasyidin, juga kepada segenap sahabat Nabi SAW lainnya.
Ini juga sekaligus merupakan bukti kebenaran firman Allah Ta’ala, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS: Al-Fath 29).
Itulah gambaran kedudukan sahabat Nabi di hati para ahlul bayt Nabi SAW. Sebaliknya, apa yang dikatakan sahabat Nabi tentang ahlul bayt?
Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pernah berkata, “Demi Allah, Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh (menyambung) kerabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam lebih aku cintai daripada aku menyambung kerabatku sendiri.” (HR Bukhari: 4241, Muslim: 1759).
Sementara itu, Sayyidina Umar ibnul Khaththab RA mengatakan kepada Abbas, paman Nabi SAW, “Demi Allah, keislamanmu lebih aku sukai daripada Islamnya Al-Khaththab (maksudnya adalah ayahnya) seandainya saja ia masuk Islam. Sesungguhnya Islam-mu lebih disukai oleh Rasulullah daripada Islam-nya Al-Khaththab.” (Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat: 4/22).
Para Penjaga Syari’at
Setelah berlalunya era kehidupan Al-Hasan dan Al-Husein, semua mata tertuju kepada Ali Zainal Abidin, putra Al-Husein, sebagai sosok yang dianggap meneruskan trah kebesaran keluarga ahlul bayt sekaligus pemangku khilafah ruhaniah umat di masa itu.
Habib Umar Bin Hafidz pernah berkisah tentang gambaran keadaan di masa Imam Ali Zainal Abidin. Berikut petikannya:
“Apa yang dilakukan Ali Zainal Abidin? Apa ia berjuang untuk mendapat kekuasaan? Apa ia mengajak orang-orang Islam untuk membai’atnya? Apa ia membuat sebuah rencana kudeta penguasa saat itu?
Semua ini tidak terjadi pada diri Ali Zainal Abidin. Apakah karena ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi, ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, Ali Zainal Abidin bukan orang bodoh. Di masanya, ia adalah pewaris agung Muhammad SAW.
Ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur’an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk, bahkan kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Inilah khilafah sejati. Inilah yang dilakukan oleh generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak ahlul bayt, sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
Perjalanan hidup Ali Zainal Abidin penuh dengan ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, takut kepada Allah. Keadaannya persis seperti apa yang digambarkan oleh Farazdaq:
Beliau menundukkan kepala
karena sifat malu
dan orang-orang menundukkan kepala di hadapannya
karena kharismanya
Maka tak ada yang berbicara dengannya
kecuali saat tersenyum
Ketika melihatnya mengusap Hajar Aswad, Farazdaq menggubah sajak:
Telapak tangan Ali Zainal Abidin
seperti hendak ditahan Hajar Aswad
saat ia mengusapnya
Jadi, dalam gambaran Farazdaq, jika Ali Zainail Abidin datang ke Ka’bah, Hajar Aswad seperti mau berdiri, memegang tangannya, dan menciumnya.
Ia berasal dari golongan
yang mana mencintai mereka adalah ajaran agama
membenci mereka adalah kekafiran
kedekatan dengan mereka tempat keselamatan dan tali untuk berpegang
Bila orang-orang bertaqwa dikumpulkan
merekalah para pemimpinnya
Bila ada yang bertanya
“Siapakah yang terbaik di muka bumi ini?”
merekalah jawabannya
Setelah itu putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu putra Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.
Di masa tabi’in itu, kekuasaan dipegang Yazid bin Muawiyah. Ia dikenal fasiq dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Al-Musayyab, juga para tabi’in senior. Ada Ali bin Al-Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Apa ada di antara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para pendahulu dan ajaran Rasulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para imam: Abi Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah khilafah yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan (yang zhalim – agar ada perlawanan sifat dengan lurus)? Apakah mereka menyusun rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu? Tidak, mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tengah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa raga, dan harta, untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya.”
Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, menyebutkan, “Yang dimaksud dengan as-sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, yang empat, yang telah mendapat hidayah.”
Dalam kitab Syarh al-Wasithiyyah, disebutkan, “Apabila disebut Al-Jama’ah bersama As-Sunnah lantas dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dimaksud dengannya adalah para salaf dari umat ini, termasuk para sahabat Nabi SAW dan para tabi’in, yang sepakat dalam kebenaran yang nyata dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.”
Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi Muhammad SAW. Ahlussunnah wal Jama’ah menerima sunnah-sunnah Nabi SAW, melalui para periwayatnya, baik dari kalangan ahlul bayt maupun dari para sahabat Nabi SAW.
Makna Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut dapatlah dipahami bila para tokoh ulama terkemuka dalam Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah seiring sejalan bahkan memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga ahlul bayt, sebab mereka semua adalah kaum yang, sebagaimana disebutkan di atas, sepakat dalam kebenaran yang nyata dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.
Tidaklah mengherankan bila kemudian ditemukan banyak komentar yang terlontar dari kalangan keluarga ahlul bayt yang memuji dan menyanjung sahabat Nabi. Begitu pun sebaliknya, tak terhitung banyaknya perkataan para ulama tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang menunjukkan kecintaan mereka kepada ahlul bayt, sebagai bentuk kepatuhan terhadap syari’at Islam, yang amat mereka pahami.
Dalah hal ini, cukuplah kiranya pernyataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (baca Manaqib), “Saya dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali!” Siapakah ibu Imam Ja’far? Ibunya bernama Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Atas ucapan Imam Ja’far itu, para ulama dan sejarawan pun menilainya sebagai wujud rasa bangga sang Imam atas jalinan kekerabatan yang ia miliki dengan Sayyidina Abu Bakar. Imam Ja’far tidak menyebut nama Muhammad bin Abu Bakar, sosok yang disepakati kaum Syi’ah akan keutamaannya. Tapi ia menyebut nama Abu Bakar. Jelas bukan terhadap siapa seseorang akan berbangga?
Memuliakan Ahlul Bayt
Ketika Sayyidina Umar bin Abdul Aziz RA masih menjadi penguasa kota Madinah, buyut perempuan Rasulullah SAW yang bernama Fathimah binti ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum datang kepadanya.
Semua orang yang berada di dalam rumah disuruh keluar oleh Umar bin Abdul Aziz, kemudian ia berkata kepadanya, “Di muka bumi ini tidak ada keluarga yang lebih kucintai daripada kalian, dan kalian lebih kucintai daripada keluargaku sendiri.”
Itulah salah satu gambaran kecintaan yang terus berlanjut antara tokoh-tokoh umat dan kalangan keluarga ahlul bayt. Contoh-contoh lainnya masih teramat banyak.
Imam Abu Hanifah RA, misalnya, sangat besar kecintaannya kepada ahlul bayt. Ia menghormati mereka dan sering membantu untuk mengatasi kesukaran mereka, baik yang sedang dikejar-kejar oleh kekuasaan Bani Umayyah maupun yang tidak. Pada suatu saat ia memberi bantuan keuangan kepada keluarga ahlul bayt yang sedang dikejar-kejar, dengan uang sebesar 12 000 dirham. Bahkan ia mendorong sahabat-sahabatnya agar membantu mengatasi kesulitan para anggota keluarga ahlul bayt Rasulullah SAW.
Begitu pula Imam Syafi’i RA. Ketika ia dituduh kaum Khawarij sebagai pengikut kaum Rawafidh dan kaum Nawashib (karena kecintaan dan penghormatannya kepada ahlul bayt dan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu Anhum), dalam beberapa bait syairnya ia menjawab tegas:
Kalau aku dituduh
oleh orang-orang bodoh
sebagai penganut kaum Rawafidh
karena aku memuliakan Ali RA…
kalau aku dituduh
sebagai penganut kaum Nawashib
karena aku memuliakan Abu Bakar RA…
biarlah aku selamanya menjadi orang Rawafidh dan Nawashib kedua-duanya
karena aku memang memuliakan ‘Ali dan Abu Bakar…
kendatipun aku akan dibenamkan dalam gundukan pasir….
Ia juga mengatakan, “Kalau karena mencintai keluarga Muhammad aku dituduh penganut kaum Rawafidh, biarlah Tsaqalain (Kitabullah dan ahlul bayt Rasulullah SAW) menjadi saksi bahwa aku ini seorang Rafidhi
0 comments:
Posting Komentar