KEYAKINAN YANG SALAH TERHADAP BULAN MUHARRAM
1. Anggapan Sial. Dalam
pandangan masyarakat Jawa, Muharram (Suro) merupakan bulan keramat.
Sehingga sebagian dari mereka tidak berani untuk menyelenggarkan suatu
acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di-indah-kan akan
menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam
mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton
Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di
bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat,
bulan ini sepi dari acara pernikahan dan hajatan.
2. Nuansa Kesyirikan Yang Aneh.
Selain itu, untuk memperoleh keselamatan, diadakan berbagai kegiatan
“aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro ,
entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung, dst.
Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang
dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut
selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu pantai
selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa
seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti
Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Di Solo, acara kondang yang menyertai
Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang
terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa
ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang
jauhpun rela bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa
tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya
rejekinya lancar, dagangan laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min
dzalik. Padahal, dalam pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol
kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, “bodo
ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab
(diarak) keliling keraton.
Pembaca yang budiman, itulah sekelumit
gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram
(Suro). Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai
animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang
keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya.
Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada
sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan
selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh
tersebut. Lalu, apakah budaya seperti ini patut kita lestarikan ?
KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO)
1. Keyakinan bahwa bulan
Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa sebagaimana
kami paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut
dengan Tathayyur ( تَطَيُّرْ ) atau Thiyarah ( طِيَرَةٌ ) yakni suatu
anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada
kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini
bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan
mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam
perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan
kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah
Ta’ala dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131)
Maka, seseorang yang meyakini bahwa
barangsiapa yang mengadakan acara pernikahan atau hajatan yang lain pada
bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang
tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah mengkabarkan hal tersebut dalam sabdanya ,
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
Artinya: “Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Parapembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, yaitu:
a) Seseorang yang ber-thiyarah
berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal
tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Ta’ala perintahkan
kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi,
semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya. Keselamatan, kesenangan,
musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk
pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai
sepenuhnya).” (QS. Hud: 56)
b) Seseorang yang bertathayyur berarti
dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada
hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika
seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan
Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya
bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala
berfirman, “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (QS. Al Ikhlash: 2)
Orang yang ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
2. Kemudian, keyakinan yang
terkait dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan, pusaka-pusaka tertentu dan
sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu,
mempunyai keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan
keselamatan/berkah serta menolak bahaya selain Allah Ta’ala. Dalam
Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan, “Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya
mereka menjawab: “Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku tentang
apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah
mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”.
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri’.’ (QS. Az-Zumar: 38)
Pembaca, ibadah apa pun bentuknya adalah
haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Dan tawakkal,
istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut
dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam
ibadah semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu
memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi
landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya
maka ia jatuh ke dalam kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan
tersebut tergantung jenis pelanggarannya.
Dan sudah merupakan prinsip agama ini
bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak di-ibadahi.
Setiap peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil
dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat
dari perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ
اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu,
adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)
Barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah)
Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka
benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung
orang-orang kafir itu.” (QS. Al-Mu’minun: 117).
Dan Allah Ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayat-Nya,“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)
Maka, apakah patut kita samakan
kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah? Apalagi
dengan hewan, keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?
Kesimpulannya, bahwa bulan Muharram atau
dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya
apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan
menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke
lembah kesyirikan, dengan melakukan acara-acara yang merupakan cerminan
dari keyakinan mereka yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin
banyak karena dilakukan pada bulan yang mulia.
Sumber: Buletin Istiqomah
0 comments:
Posting Komentar